SAYA ingin sedikit menambahkan dan mengoreksi beberapa hal dalam tulisan mengenai resimen mahasiswa (Menwa) di "PR" tanggal 15 Desember 2005. Ketika embrio Menwa dibentuk pada tahun 1959-1961, Jenderal A.H. Nasution menginginkan agar cikal-bakal Menwa yang waktu itu dikenal dengan nama wajib latih (Wala) dapat menjadi seperti Reserve Officers Training Corp (ROTC) di Amerika. Namun, situasi saat itu dengan adanya masalah DI/TII, Trikora (Pembebasan Irian Barat), lalu Dwikora (Konfrontasi Malaysia), akhirnya Menwa di Jawa Barat (Mahawarman) menjadi satuan bantuan tempur untuk Kodam VI/Siliwangi (alokasi angka romawi "III" waktu itu adalah untuk Kodam 17 Agustus di Sumatra Barat).
Ada 6 batalyon Mahawarman ketika itu, yaitu Batalyon I/ITB, Batalyon II/Unpad, Batalyon III/Unpad, Batalyon IV/gabungan universitas swasta, Batalyon V/IKIP, Batalyon VI/gabungan akademi swasta, ditambah 1 batalyon istimewa yag dikenal dengan nama Batalyon "X"/Brigtjad (anggota Batalyon "X"/Brigtjad ini dikenal dengan tanda "X" di lidah baju dan badge Kodam Siliwangi di lengan, dan mereka apel pagi di Makodam seperti prajurit Denmakodam).
Tidak seperti Menwa sekarang yang menjadi unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang statusnya di bawah rektor. Mahawarman tempo dulu secara taktis administratif berada di bawah Panglima Kodam VI/Siliwangi. Sesuai dengan situasi saat itu, Mahawarman adalah kesatuan bersenjata, dan berdasarkan ketentuan perundang-undangan ketika itu anggota Menwa tunduk kepada yurisdiksi hukum militer (begitu juga dengan anggota Hansip/Wanra). Pada tahun 1964-1967, kita dengan mudah melihat para anggota Mahawarman berjaga-jaga di sudut-sudut strategis Kota Bandung dengan menyandang mitraliur otomatis Carl Gustav kaliber 9 mm. Parabellum.
Menjelang peristiwa G-30-S, Menwa merupakan unit yang relatif luput dari infiltrasi politik, sehingga tak heran pada waktu itu banyak pimpinan Kodam dan Korem mengandalkan kekuatan Menwa sebagai back-up Kodam/Korem.
Saya merupakan saksi hidup yang mengalami peristiwa 19 Agustus di Bandung, bentrokan berdarah antara masa pendukung Bung Karno dengan mahasiswa/pelajar KAMI/KAPI. Pada tanggal 17 Agustus 1966 Bung Karno mengucapkan pidato kenegaraan "Nawaaksara" (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), besoknya terjadi bentrokan secara sporadis di Kota Bandung, namun yang terhebat adalah dua hari kemudian massa menyerbu gedung KAMI-KAPI Konsulat Bandung di Jalan lembong, lalu naik ke utara ke kampus Universitas Parahyangan (Unpar) di Jalan Merdeka, terdengar letupan-letupan senapan kaliber 7,62 Soviet (mungkin AK-47 atau SKS) dari arah Kebon Raja (sekarang halaman kantor Pemkot Bandung) ke gedung Unpar, yang kemudian ternyata menewaskan seorang mahasiswa tingkat akhir Unpar; Julius Usman (almarhum kemudian dianugerahi gelar Doktorandus secara anumerta oleh pihak Unpar). Anggota-anggota Mahawarman tidak tinggal diam, mereka menembak balik dengan Garand 30-06 dengan gaung ledakannya yang sangat khas. Seru bukan main! Rumah saya di Jalan Kenari, di belakang Kampus Unpar, hanya berjarak 200 meter dari "medan tempur" itu !
Sejak peristiwa 19 Agustus 1966, Panglima Siliwangi H.R. Dharsono makin mengintensifkan pembinaan kekuatan resimen Mahawarman, anggota Mahawarman merupakan mata dan telinga bagi Kodam untuk mengawasi aktivis CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan GMNI fraksi Ali-Surachman (koreksi untuk tulisan di "PR" 15 Desember 2005: GMKI/Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia setahu saya tidak termasuk dalam daftar pengawasan itu).
Sekarang situasi sudah berubah benar. Sementara di Amerika program ROTC bisa menghasilkan perwira sekaliber Jenderal Colin Powell, Kepala Staf Gabungan AB Amerika Serikat (setara dengan Panglima TNI di kita), dan kemudian Menteri Luar Negeri AS. Resimen mahasiswa di kita sekarang makin kehilangan pamor akibat pembinaan yang terkesan salah arah. Tidak heran apabila almarhum Letjen Mashudi yang sepanjang hidupnya sangat memperhatikan masalah bela-negara, sangat memprihatinkan kiprah perjalanan Menwa sejak tahun 1980-an. Apalagi sekarang, segala sesuatu yang berbau militer dimusuhi, dijauhi. Akhirnya kita menjadi bangsa yang lembek
Ferdiansyah, S.Si., Apt.
Jln. Pasantren No. 21
RT 03 RW 07 Cimahi
Telp.022-66121218/0818911519
(Artikel Koran Pikiran Rakyat)